ANALISA BALANCE SCORE CARD PADA KEMENTERIAN AGAMA DIREKTORAT PEMBERDAYAAN LEMBAGA ZAKAT


Balance Score Card berawal dari studi tentang pengukuran kinerja di sektor bisnis yang dilakukan pada tahun 1990. Balance Score Card adalah kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja suatu organisasi atau skor individu. Kartu skor dapat juga digunakan untuk mengukur kinerja di masa depan.  Kinerja tersebut diukur secara berimbang dari dua aspek. Keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, internal dan eksternal.
Kaplan dan Norton menggunakan empat standar perspektif BSC yaitu financial, customer, internal business process, dan learning and growth.
Perspektif Financial
BSC dibangun dari studi pengukuran kinerja di sektor bisnis, sehingga yang dimaksud perspektif financial disini adalah terkait dengan financial sustainability. Perspektif ini digunakan oleh shareholders dalam rangka melakukan  penilaian kinerja organisasi. Apabila dinarasikan akan berbunyi : “organisasi harus memenuhi sebagaimana harapan shareholder agar dinilai berhasil oleh shareholder “
Perspektif Customer
Perspektif customer adalah perspektif yang berorientasi pada pelanggan karena merekalah pemakai produk/jasa yang dihasilkan organisasi. Dengan kata lain, organisasi harus memperhatikan apa yang diinginkan oleh pelanggan.
Perspektif Internal Business Process
Perspektif internal business process adalah serangkaian aktivitas yang ada dalam organisasi  untuk menciptakan produk/jasa dalam rangka memenuhi harapan pelanggan.  Perspektif ini menjelaskan proses bisnis yang dikelola untuk memberikan layanan dan nilai-nilai kepada stakeholder daqn customer.
Perspektif Learning and Growth
Perspektif learning & growth adalah perspektif yang menggambarkan kemampuan organisasi untuk melakukan perbaikan dan perubahan dengan memanfaatkan sumber daya internal organisasi. Kesinambungan suatu organisasi dalam jangka panjang sangat bergantung pada perspektif ini.
Keempat perspektif di atas harus dipandang sebagai suatu “model (template)” yang bersifat fleksibel, baik jumlah maupun penamaannya yang disesuaikan dengan karakteristik suatu organisasi.
Dalam BSC  di sektor publik dan pemerintahan, visi dan misi diturunkan dan diterjemahkan menjadi beberapa sasaran strategis. Pernyataan yang ingin dilakukan adalah SS yang  proses, yang  seharusnya ingin dicapai adalah SS yang bersifat output atau outcome.
 
INDIKATOR KINERJA UTAMA (KEY PERFORMANCE INDIKATOR)
Setelah penyusunan peta strategi, selanjutnya adalah menentukan KPI. KPI adalah alat ukur bagi pencapaian SS.  KPI dibedakan menjadi KPI Lagging atau KPI Leading. KPI Lagging adalah KPI yang bersifat outcome/output atau yang mengukur hasil, umumnya di luar kendali unit yang bersangkutan. KPI leading adalah KPI yang bersifat proses, yang mendorong pencapaian KPI Lagging. Umumnya KPI leading berada di bawah kendali unit organisasi.
Dalam penyusunan KPI dimungkinkan adanya sub KPI, Jika diumpamakan, KPI merupakan induk sedangkan Sub KPI merupakan anak. Sebagai contoh, Indeks kualitas pemberdayaan zakat,  sub KPI nya Indeks Kualitas Pemberdayaan Zakat Provinsi DKI jakarta dan Indeks Pemberdayaan Zakat Jakarta Timur.
Dalam perumusan KPI seharusnya memenuhi karakteristik indikator kinerja yang baik dan cukup memadai dengan menggunakan  prinsip SMART-C, yaitu :
Specific, KPI harus mampu menyatakan sesuatu yang khas/unik dalam menilai kinerja suatu unit kerja
Measurable, KPI yang dirancang harus dapat diukur dengan jelas, memiliki satuan pengukuran, dan jelas pula cara pengukurannya.
Achievable, KPI yang dipilih harus dapat dicapai oleh penanggungjawab, atau Unit in Charge.
Relevant, KPI yang dipilih dan diteapkan harus sesuai dengan visi dan misi, serta tujuan strategis organisasi.
Time Bounded, KPI yang dipilih harus memiliki batas waktu pencapaian
Continously Improve, KPI  yang  dibangun menyesuaikan dengan perkembangan strategi organisasi.
Setelah menentukan KPI untuk setiap SS, organisasi perlu menetapkan target untuk setiap KPI. Target adalah suatu ukuran yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Berkaitan dengan penerapan BSC, target umumnya ditetapkan untuk masa 1 tahun. Penentuan besarnya target dapat didasarkan pada beberapa hal seperti pencapaian tahun lalu (baseline), keinginan stakeholder, atau melihat kepada kondisi internal dan eksternal organisasi.
 
IMPLEMENTASI BSC PADA KEMENTERIAN AGAMA
Level  Implementasi BSC Kementerian Agama
Sistem manajemen kinerja berbasis BSC di Kemenag terdiri atas enam tingkatan, yaitu :
Kemenag-Wide : level kementerian (personal scorecard Menteri Agama)
Kemenag-One  : level unit eselon I (personal scorecard Pimpinan Unit Eselon I)
Kemenag –Two : level unit eselon II (personal scorecard Pimpinan Unit Eselon II)
Kemenag –Three : level unit eselon III (personal scorecard Pimpinan Unit Eselon III)
Kemenag -  Four : level unit eselon IV (personal scorecard Pimpinan Unit Eselon IV)
Kemenag – Five : level pelaksana (personal scorecard Pelaksana)
 
BSC merupakan alat manajemen strategis yang menerjemahkan visi, misi dan strategi yang tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) dan Road-map Kemenag ke dalam peta strategi. Renstra Kemenag merupakan dokumen perencanaan jangka menengah (5 tahun) sedangkan roadmap Kemenag merupakan penjabaran Renstra Kemenkeu secara lebih rinci yang berisi program dan kegiatan Kemenkeu secara umum dalam jangka waktu 5 tahun. BSC sendiri dapat digunakan sebagai alat yuang menghasilkan umpan balik untuk merevisi Renstra. Revisi di Kementerian Agama sendiri dilakukan setelah ada perubahan struktur dalam Peraturan Menteri  Agama No. 10 Tahun 2010. Dimana di level eselon III telah dirubah dari Subdit Ibadah Sosial, menjadi Subdit Pengawasan Lembaga Zakat.
Visi dan Misi Kementerian Agama
  Sebagai landasan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kementerian Agama meliliki visi yaitu :  “Terwujudnya masyarakat Indonesia yang taat beragama, rukun, cerdas, mandiri dan sejahtera lahir batin.
  Adapun Misi Kementerian Agama adalah :
Meningkatkan kualitas kehidupan beragama.
Meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama.
Meningkatkan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan.
Meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji.
Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa
Membangun BSC Suatu Unit
Pembangunan suatu peta strategi dapat dilakukan secara runtut dari level tertinggi ke level yang lebih rendah. Maka untuk membuat peta strategi suatu Unit Eselon II (Direktorat Zakat), maka syarat mutlaknya adalah telah terbangunnya peta strategi unit eselon I di atasnya.
 
Studi kasus : Direktorat Pemberdayaan Zakat pada Direktorat Jenderal Bimas Islam
Tugas dan Fungsi utama  Direktorat Pemberdayaan Zakat adalah (Pasal 396) Permenag 10 tahun 2010 adalah melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang pemberdayaan zakat.
Peta Strategi Direktorat Pemberdayaan Zakat (Kemenag-Two) baru dapat disusun apabila peta strategi Direktorat Jenderal bimas islam telah terbangun. Dalam contoh kasus ini, diasumsikan bahwa Kemenag-One untuk Dirjen Bimas islam sudah diturunkan dari Depkeu – Wide.
Peta Strategi YANG HARUS DIBUAT DALAM KERANGKA BESAR Kementerian Agama :
Unit organisasi memiliki visi dan misi yang dapat dilihat pada renstra unit tersebut.
Visi Ditjen Bimas Islam adalah mengikuti visi Kementerian Agama, yaitu : Terwujudnya masyarakat Islam Indonesia yang taat beragama, maju, sejahtera, cerdas dan toleran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI.
Misi Ditjen Bimas Islam adalah terselenggaranya meningkatnya kualitas bimbingan, pelayanan, pemberdayaan dan pengembangan potensi umat Islam dan diturunkan pada level misi Direktorat Pemberdayaan zakat menjadi : mengefektifkan penyuluhan kesadaran berzakat dan pemberdayaan lembaga zakat dan ibadah sosial.
 
Perspektif peta strategi
Sebagai institusi publik yang tidak berorientasi pada profit , stakeholder dari unit tersebut adalah pihak yang secara tidak langsung memiliki kepentingan atas outcome dari suatu organisasi. Stake holder untuk Direktorat Pemberdayaan Zakat adalah Direktorat Jenderal Bimas Islam, Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) Pusat dan Daerah, Lembaga Zakat yang telah disahkan oleh Menteri Agama, Masyarakat Umum (Muzakki dan mustahik), Ditjen pajak, KPPN, dan Perusahaan pengelola dana CSR,
Unit Direktorat Pemberdayaan Zakat memiliki Pelanggan (Customer) yaitu  pengelola Lembaga Zakat yang telah disahkan oleh Menteri Agama, BAZNAS Pusat dan daerah, serta Lembaga sosial keagamaan lain yang mendapat bantuan dana ibadah sosial (dana bansos yang berhubungan dengan pemberdayaan zakat).
Perspektif Internal Business Process menunjukkan rangkaian proses dalam suatu unit untuk menciptakan nilai bagi stakeholder dan customer (value chain). Value chain di direktorat Pemberdayaan Zakat adalah akreditasi, Penilaian, Penyusunan SOP. Memperbaharui peraturan yang sudah tidak relevan tetntang zakat kontemporer, serta mempromosikan zakat profesi.
Setiap unit memiliki perspektif Learning and Growth.
Pada Direktorat Pemberdayaan zakat elemen perspektif ini bersatu dengan level eselon dua, dikarenakan fungsi sekretariat ada di Ditjen Bimas Islam. Elemennya adalah SDM, Organisasi, Informasi, Keuangan dan Umum.
Menentukan Peta Strategi BSC 
Berdasarkan kata kunci pada :
Visi Ditjen Bimas Islam adalah mengikuti visi Kementerian Agama, yaitu : Terwujudnya masyarakat Islam Indonesia yang taat beragama, maju, sejahtera, cerdas dan toleran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI.
Misi Ditjen Bimas Islam adalah terselenggaranya meningkatnya kualitas bimbingan, pelayanan, pemberdayaan dan pengembangan potensi umat Islam dan diturunkan pada level misi Direktorat Pemberdayaan zakat menjadi : mengefektifkan penyuluhan kesadaran berzakat dan pemberdayaan lembaga zakat dan ibadah sosial.
 
Kata kunci tersebut diaplikasikan ke dalam SS. Berdasarkan kata kunci yang terdapat pada visi dan misi, kondisi ideal dan realistis dapat ditentukan dalam beberapa sasaran strategis (SS). Pernyataan SS harus singkat dan mudah dipahami. SS juga merupakan sasaran-sasaran yang bersifat penting dan memperoleh prioritas tinggi dari jajaran manajemen. Setiap SS memiliki satu atau lebih Key Performance Indicator.
 
SS pada perspektif stakeholder :
Meningkatkanya Kualitas dan Kerukunan Kehidupan Umat beragama melalui Optimalisasi dana Zakat.
SS pada perspektif Customer
Penyusunan standarisasi Lembaga Zakat dan pengelola dana ibadah sosial  : akreditasi, pelaporan dan akuntabilitas
Penguatan lembaga zakat dengan bantuan dana operasional
SS pada perspektif Internal Process
Kajian  dan kebijakan zakat yang berkualitas dan menjamin tidak ada tumpang tindih pada pendayagunaan dana zakat
Pelayanan prima
Peningkatan Pemahaman masyarakat melalui bimbingan dibidang perzakatan
Peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dana bantuan sosial
Peningkatan monitoring dan evaluasi pengelola zakat.
 
SS pada perspektif Learning and Growth
Peningkatan pemahaman pegawai di bidang zakat
Pengembangan organisasi yang andal dan modern
Perwujudan Good Governance
Sistem informasi zakat yang handal

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya Jawab Akuntansi Pemerintahan (1)

PPBS : PLANNING , PROGRAMMING DAN BUDGETING SYSTEM, ANALISA PENGANGGARAN DARI SISI BELANJA DI INDONESIA

Akuntansi Dana